TAZKIRAH : DOSA ITU MENGGELISAHKAN DIRI

TAZKIRAH : DOSA ITU MENGGELISAHKAN DIRI

Kebaikan selalu mententeramkan jiwa dan kejahatankan selalu menggelisahkan jiwa. Itulah realiti yang ada pada umumnya manusia.

Dari cucu Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, Al Hasan bin ‘Ali, Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
Tinggalkanlah yang meragukanmu dan beralihlah pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.[1]

Dalam lafaz lain disebutkan,
فَإِنَّ الخَيْرَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَإِنَّ الشَّرَّ رِيْبَةٌ
Kebaikan selalu mendatangkan ketenangan, sedangkan keburukan selalu mendatangkan kegelisahan.[2]

Dalam hadits lainnya, dari Nawas bin Sam’an, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
Kebaikan adalah dengan berakhlak yang mulia. Sedangkan keburukan (dosa) adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa. Ketika keburukan tersebut dilakukan, tentu engkau tidak suka hal itu nampak di tengah-tengah manusia.[3]

An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Dosa selalu menggelisahkan dan tidak menenangkan bagi jiwa. Di hati pun akan nampak tidak tenang dan selalu khawatir akan dosa.”[4]

Adakalanya jika seseorang dalam keadaan kebingungan, Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan bertanya pada hatinya, apakah perbuatan tersebut termasuk dosa ataupun tidak. Ini terjadi tatkala hati dalam keadaan gundah gulana dan belum menemukan bagaimanakah hukum suatu masalah. Beliausallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihatkan pada Wabishoh,

اسْتَفْتِ نَفْسَكَ ، اسْتَفْتِ قَلْبَكَ يَا وَابِصَةُ – ثَلاَثاً – الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ ، وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِى الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ
Mintalah fatwa pada jiwamu. Mintalah fatwa pada hatimu (beliau mengatakannya sampai tiga kali). Kebaikan adalah sesuatu yang menenangkan jiwa dan menentramkan hati. Sedangkan kejahatan (dosa) selalu menggelisahkan jiwa dan menggoncangkan hati.[5]

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah menjelaskan, “Hadis Wabishoh dan yang sama makna dengannya menunjukkan agar kita selalu merujuk pada hati ketika ada sesuatu yang merasa ragu. Jika jiwa dan hati begitu tenang, itu adalah suatu kebaikan dan halal. Namun jika hati dalam keadaan gelisah, maka itu bererti termasuk suatu dosa atau keharaman.”[6]
Ingatlah bahawasanya hadits Wabishoh dimaksudkan untuk perbuatan yang belum jelas halal atau haram, termasuk dosa ataukah bukan. Sedangkan jika sesuatu sudah jelas halal dan haramnya, maka tidak perlu lagi merujuk pada hati.

Demikianlah yang namanya dosa, selalu menggelisahkan jiwa, membuat hidup tidak tenang. Jika seseorang mencuri, menipu, berbuat kecurangan, korupsi, melakukan dosa besar bahkan melakukan suatu kesyirikan, jiwanya sangat susah untuk tenang.

Lalu bagaimana jika ada yang melakukan dosa malah hatinya begitu tentram sahaja?

Jawabnya, bukan perbuatan dosa atau maksiat dibenarkan. Yang benar adalah itulah keadaan hati yang penuh kekotoran, yang telah tertutupi dengan noda hitam kerana tidak kunjung berhenti dari maksiat. Allah Ta’ala berfirman,
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.”
(Surah Al Muthoffifin: 14).

Jika hati terus tertutupi kerana maksiat, maka agak sukar mendapatkan petunjuk dan melakukan kebaikan.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika hati sudah semakin gelap, maka amat sulit untuk mengenal petunjuk kebenaran.”[7]

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ
Allahumma inni as-aluka fi’lal khoiroot, wa tarkal munkaroot.

Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mudah melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan berbagai kemungkaran.[8]

 

[1] HR. Tirmidzi no. 2518 dan Ahmad 1/200. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[2] HR. Al Hakim 2/51 dalam Mustadroknya. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini sanadnya shahih. Adz Dzahabi menegaskan bahwa hadits ini shahih.
[3] HR. Muslim no. 2553.
[4] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, Dar Ihya’ At Turots, 1392, 16/111.
[5] HR. Ad Darimi 2/320 dan Ahmad 4/228. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini dho’if. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirihi. Lihat Al Irwa’ no. 1734.
[6] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, Darul Muayyid, hal. 304.
[7] Ad Daa’ wad Dawaa’, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, 1424 H, hal. 107.
[8] HR. Tirmidzi no. 3233, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

No comments